JAKARTA, Kaltaraaktual.com– Ketua Komite III DPD RI, Hasan Basri mengusulkan kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) seharusnya dapat dilakukan secara bertahap.
“Saya sudah usulkan, kenaikannya jangan sekaligus agar tidak terasa. Kalau naiknya langsung banyak, nanti masyarakat yang terkejut. Karena, kita baru saja beranjak dari pandemi,” kata Hasan Basri, Senin (5/9/22).
Menaikkan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter jadi Rp 10.000 ribu per liter. Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter jadi Rp 6.800 per liter. Pertamax non subsidi dari Rp 12.500 per liter jadi Rp 14.500 per liter.
“Jika melihat trend jangka panjang, harga bahan bakar bersubsidi pasti naik. Namun, perlu waktu untuk penyesuaian. Misal 10 persen, lalu 20 persen, supaya tidak mengejutkan dan menimbulkan gejolak di masyarakat. Atau bisa juga dilakukan penaikan seribu/dua ribu,” bebernya Hasan Basri.
Hasan Basri menilai, jika mempertimbangkan harga minyak internasional saat ini, sudah pasti masih disubsidi. Namun, menurutnya ia melihat daya beli masyarakat, harga itu masih memberatkan masyarakat.
Hasan Basri yang akrab disapa HB, menyampaikan penyesuain harga BBM yang ditempuh oleh pemerintah memang tidak dapat dihindari.
Hal itu untuk menghindari dampak negatif lebih besar, yaitu krisis dan bangkrutnya APBN, seperti dalam kasus pemerintah Amerika Serikat yang terganggunya likuiditas keuangan.
Lebih jauh, Hasan Basri mengingatkan kepada pemerintah, sangat penting menjaga inflasi untuk kehidupan masyarakat. Jangan sampai Indonesia mengalami lonjakan inflasi seperti negara lain.
Meski demikian, Alumni Fakultas Hukum Universitas Borneo, Hasan Basri menyadari jika penyesuaian subsidi ini memang tidak mudah bagi pemerintah.
“Apabila pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, banyak anggaran belanja negara yang harus dikurangi. APBN bebannya berat sekali sehingga harus realokasi,” kata Hasan Basri.
Senator Muda asal Kalimantan Utara mengatakan bahwa APBN itu berfungsi bukan hanya untuk subsidi BBM, melainkan untuk memitigasi dampak pandemi COVID-19 dan untuk memulihkan perekonomian nasional.
“Kalau dipaksakan bisa, tapi semua hal dikurangi. Pembangunan dan berbagai kegiatan. Tahun ini pemerintah masih bisa defisit tiga persen. Kalau defisit naik tajam, harus utang. Ini jadi beban di masa mendatang,” lanjut Hasan Basri.
Keinginan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM tentu, kata dia, berdasarkan banyak pertimbangan. Bukan sekadar menjaga stabilitas APBN, melainkan juga memacu kesejahteraan masyarakat (public spending) dan kesiapan dukungan anggaran bagi penyelesaian masalah lainnya.
Besaran anggaran subsidi Rp500 triliun, menurut dia, adalah jumlah yang sangat besar. Dengan uang sebanyak itu, pemerintah dapat membangun banyak infrastruktur.
Selain skema bertahap, hal lain yang bisa dilakukan adalah mengurangi permintaan BBM terutama di kota besar. Masyarakat diminta menggunakan transportasi umum untuk mobilitas dalam dan antarkota.
“solusinya adalah, perbanyak titik pemberhentian dan subsidi untuk sektor transportasi,” tutup Hasan Basri. (fbhb)