OPINI, Kaltaraaktual.com- Raja Ampat selama ini dikenal dunia sebagai salah satu surga biodiversitas laut terbesar di bumi. Gugusan pulau di Papua Barat ini menjadi rumah bagi ribuan spesies laut dan karang, serta menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat adat yang hidup dari laut dan hutan. Namun, keindahan dan kekayaan ekologis ini kini terancam oleh ekspansi industri tambang, khususnya nikel.
Tambang Nikel Masuk Tanah Raja Ampat
Sejak 2023, isu tambang nikel di Raja Ampat mulai mengemuka ke publik. Pemerintah daerah dan pusat diketahui telah menerbitkan sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk perusahaan tambang yang ingin mengeksplorasi dan menambang nikel di wilayah kepulauan tersebut, khususnya di Pulau Kawe dan Waigeo Barat. Padahal, beberapa dari wilayah ini masuk dalam kawasan konservasi dan hutan adat.
Protes datang dari berbagai kalangan, terutama masyarakat adat yang merasa tidak pernah diberi ruang partisipasi yang layak dalam proses pemberian izin. Mereka menolak pertambangan karena khawatir akan dampak lingkungan yang ditimbulkan seperti pencemaran laut, kerusakan hutan, serta hilangnya ruang hidup dan budaya lokal.
Siapa yang Berkepentingan?
Di balik masuknya tambang nikel di Raja Ampat, terdapat sejumlah kepentingan besar:
Perusahaan Tambang Nasional dan Asing
Beberapa perusahaan pemegang IUP diketahui memiliki afiliasi dengan korporasi besar nasional maupun internasional yang mengincar pasokan nikel untuk baterai kendaraan listrik (EV). Industri EV memang tengah booming secara global, dan Indonesia sebagai salah satu pemilik cadangan nikel terbesar—menjadi incaran investasi.
Pemerintah Pusat dan Daerah
Pemerintah Indonesia menargetkan menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai dunia. Untuk itu, investasi tambang nikel menjadi prioritas. Pemerintah daerah pun ikut terdorong memberikan izin karena iming-iming pendapatan asli daerah (PAD) dan pembangunan infrastruktur.
Elit Lokal dan Nasional
Tidak sedikit pihak yang menyebut keterlibatan aktor-aktor elit lokal dan nasional yang punya hubungan dengan perusahaan tambang atau memanfaatkan posisi politik untuk mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek ini. Dugaan konflik kepentingan dan kolusi pun muncul, walau belum semua terbukti secara hukum.
Kondisi Terkini
Hingga pertengahan 2025, situasi tambang di Raja Ampat masih menjadi perdebatan. Beberapa izin tambang telah dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terutama setelah gelombang protes publik dan liputan media yang masif.
Namun, sejumlah perusahaan masih mengklaim hak atas lahan konsesi mereka dan mendorong jalannya proyek tambang. Di sisi lain, masyarakat adat, LSM lingkungan, dan akademisi terus melakukan advokasi untuk mencabut seluruh izin tambang dan menetapkan perlindungan hukum permanen atas tanah dan laut adat Raja Ampat.
Tantangan ke Depan
Kasus Raja Ampat mencerminkan dilema besar Indonesia: di satu sisi, dorongan untuk menjadi pusat industri hijau global lewat nikel, dan di sisi lain, ancaman kerusakan ekologis dan pelanggaran hak masyarakat adat.
Pertanyaannya kini: Pembangunan seperti apa yang akan kita pilih? Apakah pembangunan yang menghancurkan surga terakhir bumi demi bahan baku industri global, atau pembangunan yang menempatkan alam dan manusia sebagai subjek utama?
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
RUU MHA bertujuan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan lebih efektif terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam.
Hanya saja memang pasal ini hanya sebatas rancangan belum ada pengesahan sehingga masyarakat memiliki ruang huk untuk berlindung.
Penulis : Gusti Randi Bensyam