OPINI, Kaltaraaktual.com- Dalam lanskap kebudayaan kontemporer Indonesia, terjadi sebuah gejala yang tak terduga namun sarat makna. masyarakat, terutama generasi muda, lebih antusias memasang bendera One Piece simbol fiksi dari jagat manga Jepang dibandingkan mengibarkan Sang Saka Merah Putih, lambang resmi kedaulatan bangsa.
Fenomena ini bukan sekadar soal estetika visual atau tren budaya pop, namun merupakan representasi dari suatu kondisi psikososial yang lebih dalam. retaknya koneksi emosional masyarakat dengan simbol-simbol kebangsaan yang dianggap telah kehilangan daya magisnya.
Data empiris yang terekam di media sosial menunjukkan lonjakan pemasangan bendera One Piece di berbagai pelosok tanah air, terutama menjelang perayaan hari kemerdekaan. Bahkan, survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset media pada pertengahan 2025 mengindikasikan bahwa 6 dari 10 responden muda (usia 17-30 tahun) merasa lebih “bangga” dan “terhubung secara emosional” ketika mengibarkan simbol budaya pop internasional, dibandingkan dengan bendera resmi negaranya sendiri.
Fenomena ini, jika ditilik melalui kacamata filsafat budaya, mencerminkan gejala “alienasi simbolik” sebuah kondisi di mana masyarakat terasing dari lambang-lambang yang seharusnya merepresentasikan eksistensinya.
Ketika bendera Merah Putih tidak lagi dirasakan sebagai cermin dari nilai-nilai hidup yang autentik, maka masyarakat mencari simbol alternatif yang dianggap lebih jujur mewakili aspirasi dan imajinasi mereka, meskipun berasal dari dunia fiksi.
Kritik terhadap pemerintah dalam konteks ini tidak dapat dielakkan. Negara telah terlalu lama memaknai nasionalisme secara seremonial, membatasi makna cinta tanah air sebatas upacara bendera, jargon, dan slogan tanpa refleksi kritis terhadap kesejahteraan dan keadilan sosial.
Realitas sosial diwarnai oleh kesenjangan ekonomi, krisis integritas, serta minimnya ruang apresiasi terhadap kreativitas generasi muda, maka simbol negara perlahan menjadi hampa makna, sekadar artefak tanpa roh.
Di sisi lain, One Piece meskipun produk budaya luar dihayati sebagai simbol perjuangan kebebasan, solidaritas, dan impian tanpa batas. Nilai-nilai tersebut, ironisnya, lebih resonan dengan harapan masyarakat muda yang merasa dikhianati oleh realitas politik dan ekonomi bangsanya sendiri.
Mereka menemukan makna kolektivitas yang otentik dalam simbol bajak laut fiktif, di saat narasi kebangsaan yang mereka dengar sehari-hari justru terasa elitis dan eksklusif.
Maka, di sinilah letak ironi zaman ini, sebuah bangsa yang merdeka secara teritorial, namun masih terjajah dalam membangun narasi identitasnya sendiri. Negara gagal menyadari bahwa simbol bukan hanya benda, melainkan cerminan dari relasi kuasa, pengakuan, dan partisipasi. Ketika partisipasi rakyat terhadap pembentukan makna kebangsaan tersumbat oleh dominasi narasi dari atas, maka rakyat pun menciptakan simbol-simbol baru yang dirasa lebih membebaskan.
Pada akhirnya, peristiwa ini bukanlah sekadar bentuk “kekhilafan” masyarakat yang tidak mau menghormati bendera negara, melainkan manifestasi dari krisis identitas kolektif yang lebih dalam. Sebuah panggilan sunyi agar negara berhenti memonopoli makna nasionalisme dan mulai mendengar kembali suara rakyat yang sesungguhnya.
Opini oleh: Gusti Randi