OPINI, Kaltaraaktual.com- Hukum acara mengenal yang disebut asas proses cepat. Proses cepat ini disinyalir untuk kepentingan Tersangka dalam koridor menghormati Hak Asasi Manusia. Karena, setiap waktu ada yang disebut penahanan. Terlebih, jangan sampai berlarut dalam proses yang panjang dan bahkan menggantung ketidakjelasan kasus.
Seiring pembaharuan dan disahkannya KUHP, maka selayaknya dibarengi dengan pembaharuan KUHAP. Terlebih banyak pasal yang ada dalam KUHAP diuji materi di Mahkamah Konstitusi, sehingga perlu diakomodir dalam RKUHAP. Isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah mengenai dominus litis.
Prinsip dominus litis adalah aspek penting dari sistem hukum dan terkait erat dengan konsep otonomi instasi penegak hukum. Andi Hamzah dalam bahasa lain sebagai asas oportunitas melalui diskresi penuntutan. Draft RKUHAP memberikan penghentian perkara yang berbeda di tingkat penyidikan di Pasal 14 dan penghentian penuntutan di Pasal 42. Selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 14 Ayat (1) Penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena: a. ne bis in idem; b. apabila tersangka meninggal dunia; c. sudah lewat waktu; d. tidak ada pengaduan pada tindak pidana aduan; e. undang-undang atau pasal yang menjadi dasar tuntutan sudah dicabut atau dinyatakan tidak mempunyai daya laku berdasarkan putusan pengadilan; atau f. bukan tindak pidana, atau terdakwa masih di bawah umur 8 (delapan) tahun pada waktu melakukan tindak pidana.
Ayat (2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, penyidik wajib memberitahukan kepada penuntut umum, korban dan/atau tersangka paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penghentian penyidikan.
Pasal 42 Ayat (2) Penuntut umum juga berwenang menghentikan penuntutan demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu.
Ayat (3) Kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan jika: a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun); c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda; d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun; dan/atau e. kerugian sudah diganti.
Ayat (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Ayat (5) Dalam hal penuntut umum menghentikan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penuntut umum wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada kepala kejaksaan tinggi setempat melalui kepala kejaksaan negeri setiap bulan.
Meskipun penuntut diberikan diskresi penghentian penuntutan, akan tetapi Pasal 42 ayat (3) sudah jelas memberikan panduan terkait dengan kriteria kasus yang bisa diberhentikan pada tahap penuntutan. Artinya bahwa, tidak ada kata lain penghentian penuntutan dikarenakan faktor lainya (politis/ politisasi kasus).
Antara Pasal 14 dan Pasal 42 memiliki karakteristik berbeda sesuai tingkat kewenangan. Akan tetapi, delegasi penghentian penuntutan pada Pasal 42 dapat dimaknai positif dan maupun negatif. Artinya bahwa, ada pertanyaan besar mengapa diskresi penghentian perkara hanya diberikan pada instansi Kejaksaan dan tidak diberikan juga kepada Kepolisian sebagaimana konsep diversi dan restoratif justice.
Meskipun peran dan fungsi kedua instansi berbeda, akan tetapi jika merujuk pada Pasal 42 ayat (2) sebetulnya juga bisa dilakukan dan diterapkan di tingkat kepolisian. Akan menjadi sia-sia jika pada suatu kasus ternyata masuk klasifikasi Pasal 42 ayat (2), sudah besar effort yang dilakukan oleh Kepolisian dan ternyata ketika dilimpahkan ke Kejaksaan kasus tersebut diberhentikan. Untuk efisiensi dan asas cepat, seharusnya bisa dilakukan di Kepolisian karena standar dan indikatornya sudah jelas.
Oleh: Dr. Arif Rohman, S.H.I., LL.M. Dosen Fakultas Hukum, Universitas Borneo Tarakan (UBT)