OPINI, Kaltaraaktual.com- Pencapaian realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Nunukan sebesar 52,65 persen pada semester pertama adalah sebuah angka di atas kertas yang layak mendapat tepuk tangan. Digitalisasi pelayanan pajak yang menyertainya pun menjadi bukti adanya niat baik untuk efisiensi dan transparansi.
Namun, jika kita berhenti pada apresiasi semata, kita justru terjebak dalam ilusi keberhasilan sesaat dan gagal membaca sinyal bahaya yang lebih besar, yaitu kerapuhan fundamental struktur fiskal dan mimpinya visi ekonomi daerah.
Pujian atas capaian PAD menjadi ironis ketika disandingkan dengan fakta ketergantungan yang masih begitu dominan pada dana transfer pusat (41,90 persen) dan antar daerah (60,77 persen). Angka ini bukanlah statistik, melainkan sebuah diagnosis bahwa Nunukan masih dalam posisi “menadah”, bukan “mencipta”.
Kebijakan APBD Perubahan yang berfokus pada hal mendesak adalah langkah pragmatis, tetapi pragmatisme ini adalah cerminan dari ketidakmampuan untuk keluar dari siklus gali lubang tutup lubang, alih-alih membangun fondasi pendapatan baru yang kokoh dan berkelanjutan.
Membongkar Titik Lemah di Balik Data yang Tersaji
Analisis terhadap 9 jenis pajak daerah memang menunjukkan beberapa titik terang seperti Pajak Reklame (70,80 persen) dan Pajak Air Tanah (71,01 persen). Namun, data ini justru lebih nyaring meneriakkan kegagalan kita dalam mengkapitalisasi aset strategis. Realisasi Pajak Sarang Burung Walet yang hanya 0,5 persen dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (15,27 perasn) adalah sebuah skandal fiskal. Ini bukan lagi kebocoran, melainkan banjir potensi pendapatan yang dibiarkan mengalir deras entah ke mana.
Demikian pula dengan kekosongan pos pajak dari 12 pabrik kelapa sawit yang beroperasi. Gagasan melibatkan Perusda untuk menawarkan jasa infrastruktur memang cerdas, tetapi itu baru menyentuh permukaan. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa selama ini Pemda hanya menjadi penonton pasif dari lalu lintas ekonomi raksasa di halaman belakangnya sendiri?
Dari Daratan Menuju Maritim, Dari Pusat Menuju Desa
Inisiatif yang diusulkan, seperti jasa infrastruktur sawit, air minum dalam kemasan (AMDK), agregasi UMKM, dan tata kelola parkir dirapikan adalah langkah-langkah yang baik, namun masih terperangkap dalam paradigma berpikir daratan dan terpusat. Padahal, identitas dan kekuatan sejati Nunukan terletak pada dua hal yang selama ini terabaikan dalam strategi besar PAD, yaitu desa dan laut.
Pertama, Nunukan memiliki 232 desa. Angka ini seharusnya tidak dilihat sebagai beban administratif, melainkan sebagai 232 inkubator ekonomi potensial. Jika setiap desa didorong dan difasilitasi untuk melahirkan satu produk unggulan yang khas, kita tidak sedang berbicara tentang peningkatan PAD, tetapi tentang revolusi ekonomi kerakyatan.
Peran Perusda seharusnya tidak hanya membangun “Rumah Produk Nunukan” di ibu kota, tetapi menjadi fasilitator logistik dan pemasaran yang menjemput bola dari desa ke desa, memastikan produk-produk tersebut memiliki standar, kemasan, dan akses pasar.
Kedua, sebagai kabupaten kepulauan, pelabuhan adalah urat nadi perekonomian Nunukan. Namun, fungsinya selama ini terasa kerdil, lebih sebagai terminal penumpang atau pintu masuk barang konsumsi. Visi yang absen adalah menjadikan pelabuhan Nunukan sebagai hub ekspor-impor yang strategis.
Bayangkan jika produk-produk unggulan dari 232 desa tersebut dikonsolidasikan melalui pelabuhan untuk diekspor ke negara tetangga atau wilayah lain di Indonesia. Ini akan mengubah posisi Nunukan dari sekadar halaman belakang menjadi beranda depan ekonomi perbatasan.
Ketiga, pemerintah daerah di masa lalu pernah meluncurkan inisiatif seperti batik khas Nunukan dan produk-produk lainnya. Namun, program-program ini sering kali layu sebelum berkembang. Mengapa? Karena tidak ada pengawalan yang konsisten.
Inisiatif baru disambut meriah, tetapi UMKM yang menjadi pelakunya dibiarkan berjuang sendiri setelah seremonial usai. Tanpa ekosistem yang mendukung secara berkelanjutan, mulai dari bahan baku, peningkatan kapasitas, hingga jaminan pasar, maka semua program ini hanya akan menjadi memorabilia politik. Ini adalah pemborosan anggaran dan pengkhianatan terhadap harapan para pelaku usaha kecil.
Kesimpulan
Capaian PAD Nunukan saat ini patut dicatat, tetapi tidak untuk dirayakan berlebihan. Ia adalah pengingat bahwa potensi sejati daerah ini masih tertidur lelap. Fokus pemerintah tidak boleh lagi hanya sebatas intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yang sudah ada. Pemerintah Kabupaten Nunukan harus segera melakukan transformasi paradigma, dari manajer fiskal yang reaktif menjadi arsitek ekonomi yang proaktif.
Kuncinya ada tiga, yaitu desentralisasi ekonomi, upayakan pengaktifan potensi 232 desa sebagai basis produksi. Selanjutnya orientasi maritim yang mengubah fungsi pelabuhan dari sekadar pintu perlintasan menjadi gerbang perdagangan internasional. Terakhir konsistensi kebijakan, mengawal setiap program UMKM dari hulu hingga hilir secara berkelanjutan, jangan hanya menjadikannya proyek sesaat.
Hanya dengan cara inilah Nunukan dapat bertransformasi. Bukan lagi sekadar tempat persinggahan di perbatasan, tetapi menjadi sebuah destinasi transit yang nyaman dan pusat ekonomi maritim yang dinamis. Kemandirian fiskal sejati tidak akan pernah tercapai hanya dengan menaikkan persentase PAD, melainkan dengan menghidupkan seluruh denyut nadi ekonomi dari desa-desa hingga ke pelabuhannya.
Penulis oleh: Dr. Mega Oktaviany, SE, M.E.Sy (Dosen Ekonom Universitas Gunadarma/Sekretaris Eksekutif Bersama Institute)