JAKARTA, Kaltaraaktual.com- Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menuai perdebatan. Salah satunya datang dari pegiat media sosial TikTok sekaligus mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Dian Rosmala.
Dian Rosmala menegaskan, kritik yang ia sampaikan bukan karena takut aturan itu disahkan, melainkan murni demi edukasi publik agar tidak terjebak pada euforia semata.
“Banyak yang menuduh saya buzzer DPR, ada juga yang bilang takut RUU itu disahkan. Saya tegaskan, saya bukan buzzer siapa pun. Ini murni soal edukasi publik,” ujar Dian dalam unggahan Tiktoknya @deannatsir, pada Kamis (04/09/25).
Dian menyoroti salah satu poin krusial dalam draf RUU, yakni mekanisme non-conviction based asset forfeiture. Aturan ini memungkinkan negara menyita aset tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Menurutnya, klausul itu bisa mengikis asas praduga tak bersalah.
“Bayangkan, aset seseorang bisa dirampas hanya berdasarkan dugaan. Padahal orang tersebut belum tentu terbukti bersalah. Lebih serius lagi, ada klausul yang menyebut aset tidak bisa dikembalikan meski pemiliknya nanti dinyatakan bebas,” ungkapnya.
Selain itu, Dian juga menyoroti pasal mengenai ketidakseimbangan antara penghasilan sah dan aset yang dimiliki. Menurutnya, tanpa definisi yang jelas, ketentuan itu rawan jadi pasal karet dan bisa ditafsirkan secara subjektif oleh aparat.
“Di atas kertas memang terdengar tegas. Tapi dalam praktik, celah penyalahgunaan sangat terbuka. Jangan sampai RUU yang digadang-gadang untuk memberantas korupsi justru jadi instrumen represi,” katanya.
Dian menegaskan dirinya mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Namun, ia mengingatkan bahwa perjuangan melawan koruptor tidak boleh mengorbankan prinsip dasar keadilan dan hak-hak konstitusional warga negara.
“Pemberantasan korupsi itu wajib, tapi jangan sampai rakyat kecil yang justru jadi korban. Kalau konstitusi dilanggar atas nama hukum, maka kita sedang melangkah ke otoritarianisme gaya baru,” tegasnya.
Ia menutup dengan pesan agar publik tidak hanya ikut-ikutan bersorak tanpa memahami isi draf RUU secara menyeluruh.
“Jangan sekadar teriak ‘sahkan sekarang’. Baca dulu, pahami dampaknya. Kita butuh aturan yang adil, ketat, transparan, dan diawasi independen. Kalau tidak, besok bisa jadi giliran kita sendiri yang kehilangan hak,” pungkas Dian. (ka)