TARAKAN, Kaltaraaktual.com- Menjelang Natal dan Tahun Baru, euforia mudik selalu membawa kisah pulang penuh haru, setidaknya bagi mereka yang hidup di kota. Tapi di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mudik bukan soal memesan tiket di layar ponsel. Di sini, pulang kampung adalah urusan nasib.
Warga Krayan yang hendak kembali ke Long Bawan, ibu kota Krayan, justru harus berjudi dengan keberuntungan melalui tradisi yang terdengar unik, tapi sesungguhnya getir: arisan KTP di Bandara Juwata Tarakan.
Tradisi itu bukan lahir dari budaya, melainkan keterpaksaan yang diwariskan dari tahun ke tahun. “Setiap musim mudik Nataru, undian KTP bagi warga Krayan menjadi tradisi. Boleh dikatakan ini sebuah keterpaksaan,” kata tokoh masyarakat Krayan, Martinus Baru, Rabu (10/12/25).
Krayan adalah salah satu wilayah paling terisolir di Kalimantan Utara. Tidak ada jalan darat menuju pusat kota. Satu-satunya akses hanya pesawat perintis MAF atau Susi Air yang kursinya tak lebih dari 12.
Saat musim mudik, antrean panjang berubah menjadi ritual tahunan: sebuah kardus bekas diletakkan di meja. Puluhan KTP dimasukkan. Kardus dikocok. Sepuluh nama dipanggil, satu per satu, layaknya arisan. Itulah mereka yang berhak membeli tiket. “Semacam arisan,” ujar Martinus.
Dua kursi lain disisihkan untuk keadaan darurat evakuasi medis atau kebutuhan mendesak warga.
Sedangkan yang kalah undian harus menelan pil pahit: mencari penginapan lagi, merogoh biaya tambahan, dan menunggu jadwal pesawat berikutnya yang hanya terbang dua atau tiga kali seminggu.
“Bagi yang tidak dapat tiket, terpaksa menginap lagi di Kota Tarakan,” kata Martinus. “Kita menunggu giliran.”
Kondisi ini membuat banyak mahasiswa dan pekerja asal Krayan berpikir ulang untuk mudik. Bukan hanya karena mahal, tapi waktu berkumpul dengan keluarga bisa habis untuk menunggu undian. Harapan untuk memesan tiket secara online masih jauh panggang dari api.
Penerbangan kerap dialihkan untuk medevac warga yang sakit atau meninggal. Sesekali pesawat dicarter untuk agenda pejabat.
“Setiap tahun kondisinya begini. Kami berharap pemerintah melihat masalah ini dengan serius,” ujar Martinus.
Sebelum sistem undian diberlakukan, kekacauan jauh lebih terasa. Warga harus datang sepagi mungkin bahkan tidur di bandara untuk mendapatkan tiket.
“Dulu saya sama keluarga sampai tidur di bandara,” kenang Martinus. “Macam mana lagi, karena siapa paling pagi, dialah yang dapat tiket.”
Permintaan penambahan armada sudah disuarakan berkali-kali. Tokoh masyarakat dan anggota DPRD Nunukan bahkan pernah meminta bantuan TNI AU. Namun, hingga kini, perubahan nyaris tak terlihat.
“Krayan ini bukan hanya akses jalan yang hancur. Untuk pulang kampung saja kami sangat kesulitan,” tegasnya.
Tradisi arisan KTP di Krayan adalah potret paling telanjang dari kesenjangan layanan publik di negeri ini. Di wilayah yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Malaysia, warga Indonesia masih menggantungkan harapan pulang pada selembar KTP dalam kardus bekas.
Sementara kota-kota besar berlomba-lomba meningkatkan layanan digital, saudara-saudara kita di perbatasan masih bergantung pada keberuntungan.
Dan di tengah gemerlap pembangunan nasional, suara warga Krayan kembali tenggelam di deru pesawat yang terbang dua kali seminggu itu pesawat yang tak selalu bisa mereka naiki.
Harapan mereka sederhana, hak untuk pulang dengan layak, seperti warga Indonesia lainnya. (ilm/red)








