Pemerintah Lalai Cari Solusi Perdagangan Ikan di Nunukan

NUNUKAN, Kaltaraaktual.com– Kebijakan “kearifan lokal” kembali dijadikan jalan keluar klasik oleh Pemerintah Kabupaten Nunukan dalam menghadapi persoalan distribusi dan kelangkaan ikan dari Malaysia. Namun, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pallawa, Azizul Rahim menilai solusi ini justru memperlihatkan kelalaiannya kepala daerah mencari terobosan yang benar-benar berpihak pada masyarakat.

“Kearifan lokal adalah pisau bermata dua. Niat baik pemerintah membantu perekonomian warga bisa berujung jeruji besi karena melanggar aturan,” ujar Azizul di Nunukan, pada Jumaat lalu, (06/09/25).

Azizul merujuk pada sejumlah regulasi yang sudah jelas mengatur perdagangan lintas batas. Mulai dari MoU perdagangan Indonesia-Malaysia 11 Mei 1967, UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, PMK No. 188/PMK/04/2010 tentang Impor Barang Lintas Batas, hingga UU No. 21 Tahun 2019 tentang Karantina Ikan, Hewan, dan Tumbuhan. Aturan-aturan itu, kata dia, mengikat jenis dan jumlah barang, serta kuota perdagangan lintas batas baik lewat darat maupun laut.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pallawa, Azizul Rahim, S.H., M.Kn

Salah satu poin krusial adalah ketentuan Border Trade Agreement (BTA) yang membatasi nilai barang lintas batas hanya MYR 600 (sekitar Rp2,1 juta) per perahu per trip jika melalui jalur laut. Sedangkan lewat darat, kuota MYR 600 dihitung per orang dalam jangka waktu sebulan.

“Dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, kuota itu sudah tidak relevan. Kondisi ini memaksa warga melanggar aturan, melakukan penyelundupan, dan pada akhirnya rentan terkena sanksi pidana serta denda,” tegasnya.

Menurut Azizul, solusi berbasis “surat edaran kearifan lokal” yang kerap dipilih pemerintah daerah hanya akan melanggengkan praktik-praktik gelap di lapangan. “Sejarah mencatat, jargon kearifan lokal ini tidak pernah memberi kepastian hukum, malah menjerumuskan masyarakat sekaligus memperkuat dinasti oknum tertentu,” katanya.

Azizul mendesak Kepala daerah Nunukan bersama Forkopimda tak lagi bersembunyi di balik istilah kearifan lokal. Pemerintah pusat, menurutnya, harus segera meninjau ulang kuota perdagangan lintas batas agar lebih sesuai dengan kebutuhan warga perbatasan.

“Jangan biarkan masyarakat selalu jadi korban. Kalau pemerintah Nunukan serius, soal revisi aturan dan kuota kan bisa bersurat atau berkoordinasi langsung ke pemerintah pusat. Kalau tidak, kearifan lokal itu hanya bukti pemerintah malas,” tegasnya. (**)

Tinggalkan Balasan