Cegah Oligarki Parpol, WNI Diaspora dari Manca Negara Gugat Ambang Batas Calon Presiden 20 Persen ke MK

Tak Berkategori

JAKARTA, Kaltaraaktual.com- Meja persidangan Mahkamah Konstitusi kembali menerima gugatan Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold) 20% menjadi 0%. Kali ini, 27 Warga Negara Indonesia yang berada dari manca negara di seluruh dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Belanda, Perancis, Swiss, Singapura, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Australia, dan Qatar menjadi Para Pemohon dalam gugatan Presidential Threshold melalui kuasa hukumnya yakni Refly Harun dan Denny Indrayana dari kantor Refly Harun & Partners dan Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm.

Gugatan WNI diaspora tersebut telah menambah daftar panjang warga negara yang menghendaki pencalonan Presiden tidak dibatasi.

Dalam permohonannya yang diajukan pada tanggal 31 Desember 2021 pukul 22:00 WIB secara daring, Para Pemohon menghendaki agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena telah membatasi hak masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden.

“Hadirnya Pasal 222 UU Pemilu telah mengakibatkan tertutupnya hak rakyat yang ingin maju mencalonkan diri menjadi presiden dan justru memperkuat oligarki partai politik. Akibatnya, partai politik cenderung mengabaikan kepentingan rakyat dan lebih memilih mengakomodir kepentingan para pemodal”, ungkap Denny Indrayana, kuasa hukum pemohon dan Wakil Menteri Hukum dan HAM tahun 2011-2014 pada Rabu, (04/01/22).

Sedangkan Refly Harun menerangkan, salah satu alasan penghapusan presidential threshold adalah untuk menghilangkan budaya candidacy buying yang sudah menjadi rahasia umum dan sering terjadi pada proses pemilu, bahkan hingga pemilihan tingkat desa sekalipun.

Refly menambahkan, fenomena ini terjadi karena mahalnya biaya politik, sehingga ambang batas tersebut menjadi komoditas transaksi dalam perhelatan pesta demokrasi (political transaction).

“Adanya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden hanya menjadi tiket oligarki untuk memenangkan kontestasi secara mudah dan murah. Hal ini justru menandai demokrasi kriminal dimana hanya yang berkuasa dan berduit lah yang dapat menentukan siapa-siapa saja yang dapat menjadi calon presiden”, tegas Refly Harun, Ahli Hukum Tata Negara dan Pengamat Politik Indonesia.

Berkaca pada dua periode pemilihan presiden sebelumnya tahun 2014 dan tahun 2019, terdapat dua pasangan calon yang sangat erat kaitannya dengan elit partai politik. Hal ini adalah jelas dampak nyata akibat adanya presidential threshold yang justru menghambat pencalonan tokoh-tokoh alternatif di luar elit partai politik tersebut.

Selain itu, ambang batas 20% tersebut juga telah menyebabkan polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program, namun cenderung memecah belah masyarakat. Polarisasi dan perpecahan tersebut akan tetap terus terjadi bahkan justru menguat apabila ambang batas tidak dihapuskan.

Harapan Para Pemohon yang merupakan diaspora Indonesia yakni tanah air dan kampung halaman mereka dapat tetap terbangun dengan terpilihnya pemimpin yang hadir dari masyarakat dan mewakili kepentingan masyarakat. (**)

x

Tinggalkan Balasan