JAKARTA, Kaltaraaktual.com- Dari ruang redaksi media Kompas di Jakarta, Jumat, (07/11/25), Bupati Malinau, Wempi W. Mawa, menyampaikan narasi besar tentang kabupaten yang ia pimpin: wilayah yang bukan hanya ditinggali manusia, tetapi juga dijaga oleh hutan yang disebut sebagai paru-paru dunia. Di hadapan para jurnalis, Wempi berbicara lugas, menyampaikan pesan dari tanah yang menyimpan oksigen, air, dan peradaban yang tak lekang oleh waktu.
“Kami menjaga air yang tidak tercampur, kami menjaga oksigen yang alami, kami menjaga budaya yang masih murni, dan menjaga peradaban yang menjadi amanat leluhur,” ujar Wempi.
Malinau, yang membentang lebih dari 40 ribu kilometer persegi lebih luas dari Provinsi Jawa Barat menyimpan lebih dari 90 persen kawasan hutan perawan. Hanya delapan persen yang menjadi areal penggunaan lahan. Di situlah, menurut Wempi, letak kunci mengapa Malinau layak disebut paru-paru dunia.
“Hutan-hutan itu adalah kehidupan, jantung dari masyarakat adat,” katanya.
Dalam wawancara tersebut, Wempi menekankan bahwa seluruh tanah di Malinau tak pernah benar-benar kosong kepemilikan. Di sana, setiap jengkal wilayah berada dalam penguasaan masyarakat adat. Kearifan lokal, menurutnya, menjadi fondasi pengelolaan ruang hidup. “Tidak ada satu pun tanah di Malinau yang tidak dimiliki masyarakat adat,” ujarnya.
Keberagaman suku bukan menjadi pemisah. Pendatang juga diterima, selama menghormati adat.
“Kita ajak semua orang yang datang untuk menjaga dan menghormati adat istiadat,” tutur politisi Partai Demokrat itu.
Di sela penjelasan tentang hutan dan adat, Wempi membagi kisah yang mencerminkan relasi humanis antara pemerintah dan warganya. Kali ini tentang musisi legendaris Iwan Fals.
Ketika pertama kali diundang ke Malinau, Iwan sempat ragu. “Serius Bupati Malinau mau hadirkan saya?” demikian pertanyaan sang musisi, yang merasa lagu-lagunya terlalu kritis terhadap pemerintah.
Namun Wempi menjawab santai:
“Selama ini Bapak sudah banyak memberi kontribusi. Kini saatnya Bapak melihat bahwa di negeri ini juga ada orang baik.”
Akhirnya, Iwan datang. Dari rencana delapan lagu, ia justru menyanyikan 22 lagu. Empat hari di Malinau, Iwan disambut seperti keluarga. Ia pulang membawa kesan kuat, bahkan berjanji akan kembali, lebih lama, dan membuat kegiatan khusus di sana.
“Ayo kita bangun negeri ini bersama,” kenang Wempi.
Kisah serupa juga datang dari Judika dan berbagai seniman yang terus kembali ke Malinau. Hubungan itu melewati sekadar nilai kontrak yang tersisa hanya waktu: kapan mereka sempat datang.
Di tengah perubahan iklim, Malinau menjadi penegas bahwa hutan bukan komoditas, tetapi napas kehidupan. Bahwa adat bukan jeda dalam modernitas, melainkan pagar yang memastikan peradaban tetap tinggal di tanah.
Wempi ingin narasi itu keluar dari hutan Kalimantan, menjalar ke kota, hingga ke dunia.
“Kami menjaga. Itu amanat leluhur. Dan itu tidak boleh ditinggalkan,” tegasnya.
Dari ruang redaksi, pesan itu melintas:
Malinau bukan sekadar kabupaten di utara Kalimantan; ia adalah pelindung oksigen, tempat budaya tumbuh dalam senyap, dan rumah bagi siapa saja yang menghormati alam. (**)








