OPINI, Kaltaraaktual.com- Sejarah tidak pernah datang dengan wajah yang utuh. Ia hadir seperti kabut yang menutupi hutan Kalimantan, samar-samar, bergetar di antara bisikan orang tua, lalu lenyap begitu saja saat kita mencoba meraihnya. Begitu pula dengan nama Guru Panyit—seorang kepala kampung pertama, seorang pemimpin masyarakat Nunukan, yang sebagian orang mengingatnya sebagai tokoh nyata, sebagian lain menganggapnya sekadar dongeng yang dipelihara untuk mengisi kekosongan sejarah.
Setiap kali nama Guru Panyit disebut, ia datang bersama rasa ragu. Apakah ia benar-benar pernah memimpin? Ataukah ia hanya simbol yang sengaja dihadirkan agar masyarakat tidak larut ke dalam kegelapan penjajahan? Seperti sejarah yang malu menampakkan diri, sosoknya bersembunyi di antara mitos dan kenyataan, meninggalkan kita pada ketidakpastian yang membingungkan.
Namun, justru pada ketidakpastian itulah letak kekuatan kisah Guru Panyit. Ia adalah representasi dari pergulatan identitas: pemimpin yang diagungkan, tetapi sekaligus ditinggalkan. Seorang kemungkinan yang keberadaannya dibutuhkan pada zamannya, meski sejarah kemudian berkhianat dengan melupakannya.
Guru Panyit adalah wajah dari sebuah pertanyaan besar: bagaimana kita mencatat sejarah yang lebih banyak bergantung pada ingatan kolektif ketimbang arsip resmi? Kisah-kisah tentang dirinya lebih mirip nyanyian di malam hari—diceritakan ulang dengan rasa, ditambah atau dikurangi sesuai kebutuhan zaman. Ia hidup bukan karena catatan, melainkan karena cerita.
Kini, ketika kita menoleh ke belakang, kita tidak hanya dihadapkan pada figur Guru Panyit, melainkan juga pada cermin diri kita sendiri. Masyarakat yang mudah melupakan, pemerintah yang tak sempat mencatat, dan sejarah yang membiarkan kabut tetap menggantung. Guru Panyit seakan ingin berbisik kepada kita: “Aku ada, tetapi aku juga tidak pernah ada.”
Mungkin di situlah letak pengadilan tanpa hakim yang kita hadapi hari ini. Bukan soal benar atau salah, nyata atau tidak nyata, melainkan tentang keberanian untuk menerima bahwa sejarah kita selalu berlapis. Ada darah dan daging, ada mitos dan doa. Dan Guru Panyit, bagaimanapun kaburnya, tetap bagian dari denyut panjang Kalimantan—yang tidak pernah selesai diceritakan.
Penulis : Erhan Jabuk (Pegiat Seni Budaya Pagun Nunukan)