OPINI, Kaltaraaktual.com- Sejarah di wilayah perbatasan jarang ditulis dengan tinta tebal. Ia lebih sering hidup dalam ingatan kolektif, dalam tutur yang berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta dalam nama-nama yang disebut dengan hormat namun perlahan terancam dilupakan. Salah satu nama itu adalah Guru Panyit bin Mansintilanik, sosok yang dikenang sebagai pembakal pertama di wilayah yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Nunukan.
Pada tahun 1919, ketika Nusantara masih berada dalam pusaran kekuasaan kolonial dan kerajaan-kerajaan lokal berfungsi sebagai penyangga tatanan sosial, Kesultanan Bulungan melantik Guru Panyit sebagai pembakal atau kepala kampung.
Pelantikan ini bukan sekadar pengangkatan administratif, melainkan peneguhan kepercayaan bahwa kepemimpinan di wilayah terpencil harus dipegang oleh mereka yang memahami adat, manusia, dan alamnya sendiri.
Guru Panyit lahir dari rahim kebudayaan setempat. Nama ayahnya, Mansintilanik, disebut dalam cerita-cerita lama sebagai bagian dari generasi awal yang membuka ladang, menyusuri sungai, dan menegakkan kehidupan di tanah yang kala itu belum banyak disentuh kuasa luar. Beliau berasal dari Suku Tidung, Kalimantan, dari garis inilah Guru Panyit tumbuh, bukan sebagai penguasa yang berjarak, melainkan sebagai penjaga keseimbangan.
Sebutan “guru” yang melekat pada dirinya tidak semata menunjuk pada peran keagamaan atau pengajaran formal. Ia mencerminkan kedalaman pengetahuan adat, ketenangan sikap, dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Guru Panyit menjadi rujukan ketika sengketa muncul, ketika hukum adat perlu ditegakkan, dan ketika masyarakat membutuhkan suara yang meneduhkan. Dalam kepemimpinannya, hukum adat dan titah kesultanan berjalan berdampingan saling menguatkan, bukan saling meniadakan.
Masuknya wilayah ini ke dalam struktur pemerintahan tradisional yang lebih luas tidak menjelma menjadi penindasan. Di tangan Guru Panyit, kekuasaan tetap berpijak pada musyawarah, pada kesepakatan bersama, dan pada kesadaran mendalam bahwa tanah, sungai, dan manusia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Waktu berlalu, perubahan datang silih berganti. Peta kekuasaan bergeser, sistem pemerintahan berubah, dan generasi berganti. Nama Guru Panyit bin Mansintilanik mungkin tidak selalu tercatat dalam buku-buku sejarah besar. Namun jejaknya tetap hidup dalam struktur awal pemerintahan lokal, dalam ingatan tentang kepemimpinan yang bersahaja, serta dalam keyakinan bahwa Nunukan dibangun bukan hanya oleh kebijakan, tetapi oleh manusia-manusia yang bekerja dalam diam.
Sejarah, pada akhirnya, tidak selalu tentang siapa yang paling keras suaranya. Kadang ia tentang siapa yang paling setia menjaga, merawat, dan menghidupi nilai-nilai yang diwariskan.
TPU Sebengkok, Kota Tarakan
Tarakan, Jumat, 26 Desember 2025
Al-Fatihah untuk Guru Panyit bin Mansintilanik.
Oleh Erhan Jabuk Seniman Pagun Nunukan
