OPINI, Kaltaraaktual.com- Natal dan Tahun Baru selalu menghadirkan ruang perenungan. Di provinsi Kalimantan Utara khususnya di Kabupaten Malinau, momentum ini tidak hanya dimaknai sebagai perayaan keagamaan atau pergantian waktu, tetapi juga sebagai peneguhan nilai toleransi dan harmonisasi sosial di tengah keberagaman.
Perspektif teoritis, toleransi dipahami bukan sekadar sikap pasif membiarkan perbedaan, melainkan kesediaan aktif untuk menghormati dan melindungi hak orang lain dalam menjalankan keyakinannya. Filsuf John Locke menekankan toleransi sebagai prasyarat kehidupan damai dalam masyarakat majemuk, sementara Michael Walzer memandang toleransi sebagai fondasi kohesi sosial yang memungkinkan kelompok berbeda hidup berdampingan tanpa saling meniadakan.
Kerangka tersebut menemukan relevansinya di Malinau. Daerah ini merupakan miniatur Indonesia, tempat beragam suku, budaya, dan agama hidup berdampingan dalam satu ruang sosial.
Keberagaman tidak diposisikan sebagai sumber konflik, tetapi sebagai modal sosial yang dirawat melalui kebiasaan gotong royong, musyawarah, dan saling menghormati dalam kehidupan sehari-hari.bWujud toleransi yang bersifat aktif itu terlihat jelas dalam perayaan Natal.
Pada Pawai Natal Oikumene, kehadiran dan partisipasi masyarakat Muslim menjadi pemandangan yang membanggakan. Mereka turut berperan dalam pengamanan, pengaturan lalu lintas, hingga menyemarakkan kegiatan dengan semangat kebersamaan. Inilah praktik toleransi dalam makna substantif: religius dalam keyakinan, tetapi solid dalam kehidupan sosial.
Natal mengajarkan kasih dan pengharapan, sementara Tahun Baru menjadi momentum refleksi dan pembaruan komitmen. Dalam perspektif sosiologi, Emile Durkheim menegaskan bahwa solidaritas sosial merupakan perekat utama masyarakat. Tanpa rasa saling percaya dan penghormatan, pembangunan akan kehilangan maknanya.
Karena itu, pembangunan daerah tidak semata soal infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kualitas relasi sosial. Pemerintah Kabupaten Malinau berkomitmen menjaga ruang toleransi ini melalui penguatan dialog lintas iman, peran tokoh adat dan agama, serta kebijakan publik yang inklusif dan berkeadilan.
Dari Malinau, Kalimantan Utara, kita belajar bahwa toleransi bukan sekadar slogan normatif, melainkan praktik hidup yang tumbuh dari kesadaran kolektif. Di penghujung tahun, semangat Natal dan Tahun Baru menjadi pengingat bahwa persaudaraan adalah fondasi utama dalam membangun Malinau yang damai, harmonis, dan berkelanjutan. (**)
Oleh: Sekretaris Daerah Kabupaten Malinau, Dr. Ernes Silvanus, S.Pi., M.M., M.H.


