OPINI, Kaltaraaktual.com– “We all begin somewhere. A feminist understanding is not inherent; it is something that must be crafted.”- Lola Olufemi. “Feminism, Interrupted.”
Pengalaman saya ketika menyebut kata feminisme atau feminis kepada lawan bicara saya, tidak sedikit dari mereka yang mendengar langsung mengernyitkan kening. Entah itu karena mereka asing atau memang belum bisa menerima makna dari kata tersebut. Sebagian golongan memaknai feminisme sebagai penolakan terhadap ajaran agama, liberal dan kebarat-baratan, bentuk kebencian perempuan terhadap laki-laki, perempuan ingin mendominasi laki-laki, kesesatan cara berpikir para feminis. Sedangkan menurut pandangan saya tuduhan tersebut menunjukan suatu bentuk kesesatan dalam memaknai feminisme, seolah-olah tidak ada pertimbangan mengenai kesetaraan hak dan keadilan yang sebetulnya diperjuangkan dalam gerakan feminisme.
Tidak bisa kita tampikan memang bahwa ajaran feminisme ini kerap digabungkan dengan beberapa ajaran-ajaran lain, seperti feminisme liberal, feminsime radikal, feminisme marxis, feminisme kulit hitam, anarko-feminis, dan lain sebagainya. Berkembangnya berbagai aliran tersebut karena tidak adanya suatu bentuk kesamaan pandangan di antara para feminis yang mendeskripsikan apa itu feminsime, hal inilah yang menurut bell hooks permasalahan yang dihadapi dalam diskursus feminis. Terlepas dari banyaknya aliran tersebut akar berdirinya feminisme sejatinya berawal dari pembebasan perempuan.
Makna bahwa feminisme adalah perjuangan melawan diskriminasi gender dan hanya berkutat pada pembebasan individu yang digaungkan oleh agen neoliberal rasanya agak kurang komprehensif karena masih menimbulkan pertanyaan seperti ‘kesetaraan dengan laki-laki yang mana yang menjadi tujuan para perempuan?’ dan ‘apakah makna kesetaraan bagi setiap perempuan adalah sama?’
Tidak dapat kita pungkiri bahwa terdapat kelas sosial yang membedakan kelompok masyarakat baik itu dari segi gender, ekonomi, orientasi seksual, bahkan ras dan agamanya. Setelah mengakui bahwa memang benar terdapat perbedaan kelas sosial dalam masyakarat kita kemudian mampu melihat bahwa sejatinya ada perempuan yang masuk dalam kategori triple minority yaitu mereka yang kondisi material hidupnya mengalami penindasan karena sistem patriarki, eksploitasi ekonomi, dan rasisme seperti yang dialami oleh perempuan kelas bawah dan kelompok miskin yang biasanya adalah kulit hitam dan kulit berwarna.
Kimberlé Crenshaw profesor hukum menggunakan kata interseksional untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk penindasan yang memiliki keterkaitan yang diderita oleh kelompok masyarakat tertentu sebagai akibat adanya perbedaan kelas sosial dalam masyarakat, khususnya yang dialami oleh perempuan kulit hitam/perempuan kulit berwarna. Untuk itu, jika kita melihat dari sudut pandang perempuan kulit hitam yang mana bagi mereka rasisme adalah bentuk penindasan sistemik yang dialami tidak hanya menimpa perempuan saja, tetapi juga laki-laki kulit hitam yang kemudian membawa dampak pada keseluruhan hidup mereka secara ekonomi dan sosial. bell hooks dengan semangat tersebut mengartikan feminsime sebagai gerakan yang bertujuan untuk mengakhiri perbuatan seksime, melawan eksploitasi seksis, serta penindasan. Bagi bell hooks makna tersebut menunjukan bahwa tidak semua laki-laki adalah musuh, bahwa perbuatan seksis pun dapat dilakukan perempuan, dan siapa saja yang mempertahankan sistem dominasi.
Dalam perspektif feminis kulit hitam dan feminis marxis, kesetaraan dengan laki-laki bukan satu-satunya tujuan yang hendak dicapai, justru tujuan yang hendak mereka capai sudah jauh melampaui itu. Melalui kerangka berpikir feminis marxis yang bertumpu pada kondisi material perempuan secara keseluruhan kemudian saya memahami bahwa tidak hanya perempuan (kulit hitam-kulit berwarna) yang mengalami penindasan, karena bagaimana pun juga kedudukan perempuan kulit putih jauh lebih diuntungkan dibanding laki-laki kulit hitam, pun perempuan kelas atas-sehingga bukan sekadar ketubuhan, kebebasan individu, ‘girl boss’-yang notabenennya justru bisa
melanggengkan sistem dominasi-yang mereka impikan, melainkan mengakhiri segala eksploitasi, ekstraksi, dan penindasan yang dilakukan para kapitalis terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Jika kita mengambil contoh di Indonesia, semangat tersebut tercermin dalam perjuangan para perempuan masyarakat adat dan desa yang mengambil peran sentral dan berdiri di garis terdepan dalam melawan perampasan tanah, hutan, dan ruang hidupnya, seperti perempuan petani Kendeng, juga mama-mama di Desa Rendu Butowe NTT. Bagi para perempuan ini, pemilik modal bahkan negara-pelanggeng sistem kapitalisme yang menuhankan eksploitasi dan ekstraksi-adalah pihak yang harus mereka lawan.
Hal di atas kemudian menunjukan bahwa feminisme liberal yang menitikberatkan pembebasan individu gagal memberikan solusi. Mayoritas feminis ini selalu berorientasi pada “cracking the glass ceiling” dengan memotivasi para perempuan untuk merebut dan menempati jabatan struktural yang strategis seperti menjadi manager, direktur, politisi, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi problematik karena memposisikan bahwa seluruh perempuan memiliki titik awal dan privilese yang sama dengan menutup kenyataan adanya kondisi material sosio-ekonomi yang menghalangi perempuan menempati posisi tersebut.
Bertentangan dengan hal tersebut para feminis kulit hitam dan feminis marxis memaknai feminisme sebagai perjuangan yang memusatkan perhatiannya untuk mengakhiri sistem dominasi yang melanggengkan kuasa hetero-kapitalis patriarki. Dalam buku Feminisme untuk 99% (Cinzia Aruzza, dkk., 2019), feminisme dimaknai sebagai perjuangan kelas melawan rasisme institusional dengan menitikberatkan perhatiannya pada perempuan kelas pekerja dari semua lapisan: baik rasial, migran, atau kulit putih; cis, trans atau gender non-conforming; ibu rumah tangga, pekerja domestik, atau pekerja seks; yang diupah per jam, per minggu, per bulan atau tidak diupah sama sekali; pengangguran atau pekerja tidak tetap; muda atau tua. Feminisme sejatinya merupakan sebuah perjuangan kelas yang hendak membebaskan manusia keluar dari belenggu eksploitasi dan ekstraksi sistem ekonomi global.
Solidaritas Tanpa Batas
Kekerasan, penindasan, dan rasisme tidak hanya dirasakan oleh perempuan kulit hitam di negara maju seperti Amerika Serikat, perempuan muslim di Prancis, perempuan-perempuan yang tergabung dalam gerakan #niunamenos yang melawan kekerasan hetero-patriarki dan rezim neoliberal di Argentina maupun negara Amerika Latin lainnya. Dalam sistem kapitalisme global, segala bentuk penindasan terjadi tanpa mengenal batas wilayah. Justru ‘mengkotak-kotakan’ penindasan adalah agenda yang dibawa para kapitalis untuk melanggengkan kuasanya. Melihat penindasan secara interseksional sangat penting dalam gerakan revolusioner untuk memastikan tidak ada satu orang pun yang tertindas diabaikan, bahwa kita memiliki koneksi yang sama.
Maka dari itu untuk menghapuskan sistem dominasi yang menjadi akar dari segala penindasan dibutuhkan suatu gerakan masif yang terorganisir serta kerja-kerja kolektif. Kita harus berani membayangkan dunia tanpa dominasi, dunia yang adil di mana seluruh kekayaan dunia dikelola secara bersama. Bagi bell hooks, revolusi feminis sendiri belum mampu mewujudkan dunia tersebut, kita perlu secara bersama-sama mengakhiri rasisme, elitisme, dan imperialisme.
Kita harus mampu menyulam solidaritas tanpa melihat gender, agama, ras, dan wilayah tempat tinggal kita. Kita harus terhubung dengan perempuan-perempuan di penjuru dunia. Semua ini berawal dari merebut kembali makna feminisme yang direduksi, seperti pernyataan bell hooks: feminisme adalah untuk semua orang.
Referensi:
Arruzza, Cinzia, Tithi Bhattacharya, and Nancy Fraser, Feminism for the 99 Percent: A Manifesto (London: Verso, 2019).
hooks, bell., Feminist Theory: From Margin to Center (London: Pluto Press, 2000).
Olufemi, Lola., Feminism, Interrupted: Disprupting Power (London: Pluto Press, 2020).