Sekda Ernes Silvanus: Perbatasan Itu Wajah Negara, Tapi Warganya Belum Merdeka dari Kekurangan

MALINAU, Kaltaraaktual.com-  Di ujung utara Kalimantan, perbatasan bukan sekadar garis di peta, melainkan ujian nyata bagi makna kemerdekaan. Itulah pesan yang disampaikan Sekretaris Daerah Kabupaten Malinau, Ernes Silvanus, dalam Seminar Nasional bertema “Perbatasan Kuat, Indonesia Bermartabat”, 504: Malinau Beranda Merah Putih, Jumat (24/10/25).

Dengan nada tegas, Ernes mengingatkan bahwa kekuatan perbatasan tidak hanya diukur dari pos lintas batas megah, tapi juga dari seberapa layak kehidupan warga di sekitarnya.

“Kita sudah merdeka dari penjajahan, tapi belum sepenuhnya merdeka dari kekurangan infrastruktur,” ujarnya di hadapan peserta seminar yang terdiri dari pejabat pusat, provinsi, dan para kepala desa wilayah perbatasan.

Ernes menegaskan bahwa Malinau memegang peran strategis sebagai beranda merah putih di perbatasan dengan Malaysia. Bagi dia, perbatasan bukan halaman belakang, tetapi wajah pertama Indonesia yang dilihat oleh dunia luar.

“Perbatasan itu pintu depan negara. Kalau di situ masih terisolasi, itu bukan sekadar soal pembangunan, tapi soal martabat bangsa,” katanya.

Salah satu fokus utama Ernes adalah percepatan pengoperasian Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Long Nawang. Pos tersebut sudah diresmikan Presiden, namun hingga kini belum berfungsi secara penuh.

“Kalau menurut saya, PLBN Long Nawang ini harus segera dioperasionalkan. Supaya masyarakat kita bisa keluar masuk ke Malaysia secara resmi,” tegasnya.

Menurut Ernes, aktifnya PLBN akan membuka akses ekonomi dan layanan kesehatan bagi warga di perbatasan yang selama ini lebih dekat ke Malaysia ketimbang ke ibu kota provinsi.

“Kalau resmi, belanja lintas batas bisa diawasi, hubungan ekonomi jadi sehat. Untuk kesehatan juga, banyak warga yang lebih dekat ke rumah sakit Malaysia daripada ke Tarakan atau Samarinda. Ini kebutuhan nyata, bukan sekadar wacana,” tambahnya.

Namun, Ernes tak menampik bahwa keberadaan PLBN tanpa dukungan infrastruktur hanyalah simbol tanpa isi. Jalan yang belum terhubung, bandara kecil yang rusak, dan akses logistik yang mahal masih membelenggu warga di pedalaman Malinau.

“Kalau ditanya mana yang lebih penting, PLBN atau infrastruktur, dua-duanya penting. Tapi kalau jalan kita ke Long Nawang atau Sungai Boh masih rusak, PLBN jadi nomor dua,” ucapnya.

Ia mencontohkan kondisi Bandara Mahak Baru yang kini memprihatinkan. “Kalau bandara itu tak diperbaiki, warga Sungai Ibu harus jalan dua hari ke Long Apung dulu. Ini bukan soal jarak, tapi soal hak untuk mendapat pelayanan yang layak,” ujar Ernes.

Meski dengan anggaran terbatas, Pemerintah Kabupaten Malinau berupaya menambal kesenjangan melalui subsidi transportasi. Tahun 2025, Pemkab menyalurkan lebih dari Rp35 miliar untuk subsidi penerbangan dan ongkos angkut logistik ke wilayah perbatasan.

“Kita tahu kendala mereka adalah keterisolasian. Karena itu kita bantu subsidi pesawat dan ongkos barang. Tapi tidak bisa daerah sendiri, perlu sinergi nyata dari pusat dan provinsi,” imbuh Ernes.

Bagi Ernes, perhatian terhadap perbatasan tidak boleh setengah hati. Ia berharap seminar nasional ini menjadi momentum penyamaan persepsi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten tentang tanggung jawab terhadap warga tapal batas.

“Kita ingin warga perbatasan merasakan makna kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan hanya bebas, tapi juga sejahtera,” katanya.

Ia menutup pesannya dengan refleksi yang menggugah, “Kita sering bicara soal Indonesia kuat. Tapi kalau di ujung negeri masih ada warga yang menyeberang hanya untuk beli beras atau berobat, itu tanda kita belum benar-benar kuat,” tutupnya.

Suara Sekda Malinau ini mengandung ironi yang tajam: di saat Indonesia membangun tol laut dan ibu kota baru, perbatasan di Long Nawang masih menunggu jalan darat dan bandara layak.

Di sinilah letak paradoks pembangunan, negara ingin menjaga kedaulatan, tapi sering lupa menyejahterakan penjaganya. Seperti kata Ernes, “Martabat bangsa dimulai dari wajah perbatasan”. (**)

Tinggalkan Balasan