JAKARTA, Kaltaraaktual.com- Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI) menyatakan menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Ketua BEM FH UI, Alif Lathif, berpandangan bahwa belum terdapat hal yang urgen untuk pengesahan RUU EBET saat ini sepanjang substansi pengaturannya masih kontraproduktif dengan transisi energi.
“Draf RUU EBET masih terdapat dominasi pengaturan Energi Baru serta permasalahan hukum lainnya, seperti tumpang tindih pengaturan materi dengan UU Ketenaganukliran, UU Energi, dan UU Ketenagalistrikan, serta penguasan sumber daya alam dan pengelolaan EBET yang didominasi oleh pemerintah pusat, Hal ini disampaikan pada diskusi yang digelar atas kerja sama Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) dan BEM FH UI dengan tema “Nasib RUU EBET di Ujung Masa Jabatan DPR RI”, 26/07/2024.
Lebih lanjut, Alif Lathif, menjelaskan bahwa meski transisi energi saat ini menjadi yang sangat urgen untuk dikawal, namun RUU EBET belum menjadi solusi bagi landasan hukum dalam implementasinya ke depan. Menurut Alif, terdapat banyak problematika yang terkandung di RUU EBET.
“Proses transisi energi tidak dapat dilakukan secara gegabah demi kejar tayang, tetapi juga harus memperhatikan substansi dan teknis pelaksanaan agar terciptanya keadilan ekologis. Hal yang paling penting dari transisi energi adalah bagaimana kita bisa beralih dari mengonsumsi energi kotor yang merusak lingkungan menjadi mengonsumsi energi bersih yang memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan kesejahteraan rakyat. Negara seharusnya lebih fokus mendorong transisi ke energi terbarukan,” jelasnya.
Peneliti PUSHEP, Akmaluddin Rachim, pada kesempatan yang sama menyoroti terkait dengan aspek formil dan materil pembentukan RUU EBET. Dari aspek formil, secara obyektif, proses penyusunan RUU EBET telah melalui berbagai diskusi, menerima masukan dari berbagai stakeholder seperti perguruan tinggi, koalisi masyarakat sipil, asosiasi pelaku usaha, asosiasi pemerintah daerah serta berbagai kelompok pemangku kepentingan lainnya.
“Meskipun begitu, peneliti Pushep mempertanyakan, apakah tahapan tersebut telah memenuhi unsur meaningful participation atau partisipasi yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Diketahui bahwa RUU EBET ini telah menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas sejak tahun 2019 hingga 2024,” urainya.
Lebih lanjut, Akmal, menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan RUU EBET, DPR dan Pemerintah selain melalukan pembahasan di dalam gedung DPR, juga dilakukan di luar, seperti di hotel bintang lima, di Jakarta.
Menurut Akmal, jika pembahasannya dilakukan di dalam gedung DPR, masyarakat sipil masih dapat melakukan pemantauan. Pemantauan bisa dilakukan melalui hadir langsung di balkon ruang rapat Komisi VII DPR RI atau bisa mengikutinya melalui siaran tv parlemen, via website atau channel youtube Komisi VII DPR RI.
“Sementara jika dilakukan di hotel maka hal ini akan menutup ruang untuk pemantuan dan partisipasi publik. Pembahasan di hotel memungkinkan terjadinya tukar tambah kepentingan serta praktik state capture corruption dalam pembentukan RUU EBET,” tutur Akmal.
Dari aspek materil, Akmal, menyampaikan bahwa pembahasan DIM RUU EBET pada akhir tahun 2023 menyisakan materi terkait mekanisme Nilai Ekonomi Karbon di sektor Energi (Pasal 7A ayat 6, DIM 115), amonia sebagai salah satu sumber Energi Baru (Pasal 9, ayat 1 huruf c) (DIM 123), pengutamaan produk dan potensi dalam negeri (TKDN) untuk EBET (Pasal 24, ayat (2a) (DIM 222-225) dan Pasal 39, ayat (2a) (DIM 351-354), optimalisasi pemanfaatan EBET untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Power Wheeling) (Pasal 29A) (DIM 265-266) dan (Pasal 47A) (DIM 416-417), urgensi pembentukan Badan Khusus Pengelola Energi Terbarukan (Pasal 56) dan penggunaan Dana EBET (Pasal 56, ayat (3) (DIM 508-516). Di tahun 2024 ini, berdasarkan pemantauan melalui media pemberitaan, materi RUU EBET yang tertunda pembahasannya menyisakan substansi pengaturan TKDN dan power wheeling.
Saat ini anggota DPR sedang reses. Masa sidang berikutnya akan dimulai kembali pada 16 Agustus hingga 30 September 2024. Sementara pada 1 Oktober 2024, akan ada pelantikan anggota DPR yang terpilih. Di sisa waktu yang ada, kami berharap agar pembahasan RUU EBET dirampungkan sehingga bisa segera disahkan menjadi undang-undang sebelum berakhirnya masa jabatan periode DPR 2019-2024. Pengesahan tersebut hanya bisa terjadi jika DPR dan Pemerintah memiliki politik hukum yang kuat untuk mengundangkan RUU EBET.
“Seperti yang terjadi pada proses kilat revisi UU Minerba, UU KPK, UU MK, pembentukan UU Cipta Kerja, dan lain sebagainya. Namun konon, berdasarkan informasi yang kami terima, pengundangan tersebut akan dilakukan pada masa jabatan presiden terpilih telah dilantik. Kami berharap agar pengundangan bisa lebih cepat agar kemudian masyarakat dapat mengujinya ke Mahkamah Konstitusi,” sebutnya.
Adapun Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia menyoroti terkait dengan potensi deforestasi akibat pengembangan co-firing Biomassa untuk PLTU yang ugal-ugalan. Menurutnya, ada sekitar 4,65 juta hektar proyeksi deforestasi dari bisnis Biomassa pada masa depan. Hal ini terlihat dari sejumlah aktivitas yang dilakukan PLN. Hingga Juli 2023 PLN mengklaim telah menerapkan co-firing Biomassa pada 40 PLTU. Di tahun 2025 nanti diproyeksikan akan menjadi 52 PLTU.
“Gambaran ini menunjukkan kecenderungan kamuflase dalam transisi energi, pengurangan atau penghentian penggunaan batubara untuk PLTU, namun mendorong pemanfaatan pelet kayu pada PLTU. Selain itu, Anggi juga menyoroti terkait dengan kegiatan pengembangan panas bumi yang terjadi pada kawasan hutan yang meminggirkan kegiatan masyarakat adat,” imbuhnya. (***)