NUNUKAN, Kaltaraaktual.com- DPRD Kabupaten Nunukan menutup ruang abu-abu soal tiga Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) inisiatif mereka. Dalam rapat paripurna, Rabu, (05/11/25), DPRD menyampaikan jawaban resmi atas pandangan Pemerintah Daerah, terutama terkait urgensi perlindungan masyarakat adat dan jaminan akses hukum bagi warga miskin.
Juru Bicara Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda), Dr. Andi Muliyono, menyebut Pemerintah Daerah telah memberi masukan konstruktif yang memperkaya substansi aturan. Namun, DPRD menegaskan bahwa revisi yang diusulkan bukan sekadar kosmetik, melainkan kebutuhan hukum yang mendesak.
“Terima kasih atas masukan Pemerintah Daerah. Namun, revisi ini penting sebagai jaminan kepastian hukum dan perlindungan masyarakat,” ujar Andi.
Hak Ulayat Lundayeh Terancam Tanpa Revisi
Salah satu Ranperda yang diperjuangkan DPRD adalah perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh. Pemekaran wilayah Krayan menjadi lima kecamatan menjadi alasan utama revisi.
Andi menegaskan, wilayah adat tidak bisa dibatasi oleh garis administratif. Karena itu, penyesuaian perda menjadi keharusan untuk menghindari konflik perebutan ruang adat.
“Pemekaran wilayah jangan sampai mengaburkan hak ulayat. Ranperda ini untuk menjamin bahwa hak masyarakat Lundayeh tetap diakui,” katanya.
Penyesuaian paling krusial dilakukan pada Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1). Lebih jauh, DPRD menyoroti perlunya pemetaan partisipatif wilayah adat. Tanpa peta resmi, pengakuan hukum rentan digugat dan membuka celah konflik.
Pengakuan Masyarakat Adat Belum Komprehensif
Ranperda kedua menyasar perubahan Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. DPRD menilai payung hukum sebelumnya belum memberikan ruang penuh untuk perlindungan hak masyarakat adat sesuai amanat UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Merujuk Permendagri Nomor 52/2014, DPRD menekankan pentingnya prosedur identifikasi dan verifikasi masyarakat adat di tingkat daerah sebagai dasar legitimasi pengakuan.
Bagi DPRD, penguatan ini bukan hanya soal administrasi, tapi juga menyangkut keselamatan budaya dan kontrol atas ruang hidup masyarakat adat.
Ranperda ketiga mengenai Penyelenggaraan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin mendapat dukungan penuh DPRD. Mereka sepakat anggaran APBD harus membuka pintu bantuan hukum, tak hanya di ruang sidang tetapi juga pendampingan non-litigasi.
“Ini instrumen pemerintah untuk menjamin hak masyarakat miskin mendapat perlindungan hukum,” tegas Andi.
DPRD menilai Ranperda ini sebagai fondasi hadirnya negara di tingkat paling dekat dengan masyarakat. Tujuannya jelas: keadilan sosial yang lebih merata.
Dengan tiga Ranperda ini, DPRD menegaskan langkah mereka bukan sekadar memenuhi program legislasi. Ada upaya menjaga ruang adat dari intervensi, mempertegas identitas masyarakat adat, dan memastikan keadilan bisa diakses siapa pun.
Di tengah banyaknya sengketa ruang adat dan keterbatasan akses hukum di Nunukan, Ranperda ini menjadi taruhan besar agar hukum tak hanya berdiri di atas kertas, tetapi hidup bersama masyarakat.
“Kami ingin memastikan hukum hadir mengayomi, bukan mengaburkan,” ujar Andi menutup penyampaiannya. (tfk/dprdnnk/red)










