Presiden Prabowo Singgung Wacana Pilkada via DPRD: Menekan Ongkos Politik atau Reformasi Mundur?

oleh
oleh

JAKARTA, Kaltaraaktual.com-  Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali mencuat ke permukaan setelah Presiden Prabowo Subianto membuka peluang untuk mempertimbangkan usulan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia. Gagasan yang lama tenggelam sejak reformasi itu kini memperoleh panggung baru, dengan alasan menekan ongkos politik yang dinilai kian membengkak dalam sistem pemilu langsung.

Di hadapan kader Partai Golkar dalam puncak HUT ke-61 partai beringin di Istora Senayan, Jumat (05/12/25), Prabowo memaparkan logika sederhana namun sarat implikasi: jika rakyat sudah memilih DPRD, maka anggota legislatif daerah itu bisa sekaligus diberi kewenangan memilih gubernur dan bupati.

“Kalau sudah sekali memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, ya kenapa enggak langsung aja pilih gubernurnya dan bupatinya? Selesai,” ujar Prabowo. Ia merujuk sejumlah negara seperti Malaysia, India, Inggris, Kanada, dan Australia sebagai rujukan model demokrasi murah berbasis perwakilan.

Namun, pernyataan tersebut segera memantik tanda tanya besar, apakah pendekatan ‘demokrasi murah’ relevan bagi Indonesia yang sedang berupaya memperkuat partisipasi publik pasca dua dekade reformasi?

Dalam forum yang sama, Bahlil kembali mengampanyekan gagasan lama Golkar, bahwa pilkada tidak perlu lagi menguras energi publik dengan kontestasi langsung. Ia menilai pemilihan oleh DPRD justru akan menyederhanakan proses dan mengurangi potensi politik uang yang selama ini membayangi pesta elektoral.

“Keputusan pilkada dipilih lewat DPRD saja, kita mengkaji, alangkah lebih baiknya memang dilakukan sesuai pemilihan lewat DPR atau DPRD tingkat dua. Biar tidak lagi pusing-pusing,” ujar Bahlil.

Bahlil menyebut demokrasi Indonesia perlu “dirancang ulang” agar tidak dikuasai pemodal. “Demokrasi harus mengurangi terlalu banyak permainan uang,  supaya politik kita jangan ditentukan hanya orang-orang berduit,” katanya.

Pernyataan Prabowo dan Bahlil menghidupkan kembali perdebatan klasik antara efisiensi politik dan legitimasi publik. Sistem pilkada langsung yang diperkenalkan pada 2005 dipuji karena memperbesar ruang partisipasi warga. Namun, sistem itu pula yang dikritik karena mendorong ongkos kontestasi yang terlampau tinggi, barter politik, serta korupsi kepala daerah yang kerap bermuara dari beban biaya kampanye.

Dalam konteks tersebut, wacana pilkada via DPRD tampak menjanjikan di permukaan. Namun para pengamat sejak lama mengingatkan risiko kembali ke pola “transaksi elite”, yang justru lebih rentan disusupi kepentingan politik tertutup dan jual-beli dukungan di parlemen daerah.

Di tengah sorotan terhadap usulan tersebut, Prabowo menegaskan bahwa politik Indonesia harus berbasis gotong royong. “Persaingan pada saat bersaing; begitu selesai bersaing, bersatu, kompak, gotong royong,” ujarnya.

Narasi ini sejalan dengan pola pemerintahan Prabowo-Gibran yang sejak awal menekankan konsolidasi nasional, meski bagi sebagian pihak, semangat ini justru berisiko mengaburkan batas-batas kritis antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Wacana pilkada via DPRD mungkin akan terus menggelinding dalam beberapa bulan ke depan, terutama jika Golkar dan partai-partai koalisi pemerintahan menyepakatinya sebagai agenda politik bersama. Namun, publik patut mencermati apakah langkah ini benar-benar menekan ongkos demokrasi atau justru menggerakkan jarum sejarah kembali ke masa ketika pemilihan kepala daerah diatur di ruang rapat, bukan kotak suara.

Satu hal pasti: setiap perubahan sistem pemilu bukan hanya soal efisiensi, tetapi menyangkut arah demokrasi Indonesia dalam jangka panjang apakah semakin dekat ke rakyat, atau perlahan menjauh. (*/red)

Tinggalkan Balasan