TANJUNG SELOR, Kaltaraaktual.com – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltara, Hairul Anwar, S.Hut., M.AP mengajak semua pihak untuk menghormati putusan pengadilan. Menurutnya, persoalan dugaan penyalahgunaan dana hibah Benuanta Kaltara Jaya (BKJ) sudah dinyatakan inkrah, dan putusannya harus dihormati.
Hairul menjelaskan, bahwa kasus ini tidak perlu lagi mendapat tanggapan yang terlalu serius atas segala layangan dugaan atau bahkan tudingan yang sifatnya terkesan hanya mencari-cari kesalahan semata, karena kasus ini telah dinyatakan inkrah oleh pengadilan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur.
“Yang utama harus digaris bawahi, perlu saya tegaskan bahwa keputusan ini telah dinyatakan inkrah di Pengadilan, makanya tidak perlu direspon atau memerlukan klarifikasi lagi, karena keputusan inkrah ini mengikat, maka otomatis telah menjawab secara keseluruhan, itu jawaban total dari segala dugaan-dugaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata Hairul dikutip dari laman www.kaltaraberkisah.com.
Hairul juga menegaskan bahwa secara kode etik sikap pemerintah tidak boleh basa-basi yang berakibat pada potensi melemahkan produk hukum.
“Kita paham, tentu tidak semua pihak bisa merasa terpuaskan. Pro dan kontra itu biasa, itu sudah dinamika hukum alam, jadi tidak perlu kita berlama-lama tenggelam hanya karena mempersoalkan apa yang sudah menjadi fitrah alam. Toh kami juga tidak bisa memaksakan warna baju orang lain harus sama dengan warna baju kami, dalam arti kami tidak bisa menuntut setiap orang harus sepemikiran dengan kami, memaksa semua orang harus pro dengan kami. Justru itu tidak mencerminkan ciri pemerintah yang baik,” terangnya.
Menurutnya, sebagai lembaga pemerintah harus tegak lurus dalam menunjukkan sikap yang menjadi simbol pandangan hukum. Sikap pemerintah harus konsisten tegak lurus pada prinsip-prinsip hukum. “Jika sudah diputuskan inkrah, ya sudah, sikap pemerintah tidak lagi diperbolehkan untuk belok-belok tanpa arah yang jelas. Kami tidak boleh menunjukkan sikap hukum yang dikhawatirkan malah terkesan blunder pada putusan yang telah inkrah,” katanya.
Hairul juga menjelaskan, bahwa tidak halal lembaga pemerintah itu memuntahkan narasi-narasi yang pada prinsipnya telah terjawab secara menyeluruh dan utuh melalui putusan inkrah. Sehingga, melakukan tindakan klarifikasi oleh pihak pemerintah atas putusan inkrah itu malah terkesan merendahkan atau meragukan segala putusan-putusan legal hukum yang diterbitkan secara sah oleh lembaga yang berwenang.
Tidak hanya putusan lembaga Pengadilan saja, tetapi warna sikap pemerintah itu harus menghormati ketetapan semua lembaga yang diakui oleh negara dan diberikan kewenangan-kewenangan khusus untuk mengeluarkan segala produk-produk yang di bidanginya sesuai Tupoksinya dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Saya pikir ini sudah clear and clean ya. Kalau ini kami gubris, sibuk klarifikasi, yang ada malah terkesan pembenaran. Dan tentu justru akan menjadi tidak etis, karena secara implisit itu sama halnya dengan meragukan produk pengadilan, dengan kata lain tidak menghormati putusan hukum. Kami ini lembaga pemerintah, sehingga harus punya sikap yang jelas warnanya, sikap yang tidak boleh ambigu dalam menjunjung nilai-nilai hukum,” jelasnya.
Hairul menjelaskan hasil temuan BPK yang kemudian terbit bukti surat perintah tertulis Gubernur kepada Kepala DLH, berisi atensi agar lebih cermat dan ekstra hati-hati dalam mengambil sikap dan mengeluarkan keputusan yang nantinya akan berujung pada perbuatan yang sifatnya secara melawan hukum.
Dikatakan Hairul, berdasarkan PP Nomor 12 tahun 2019 pasal 4 bahwa dalam melaksanakan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan, serta pengawasan keuangan daerah kepada pejabat perangkat daerah, yaitu salah satu kepala SKPD selaku PA (pengguna anggaran). “Jadi dia yang bertanggungjawab mutlak selaku kepala SKPD,” ucapnya.
Ia mengatakan, berdasarkan Permendagri 77 tahun 2020, penganggaran belanja hibah, baik berupa uang atau barang dan jasa, itu dianggarkan pada SKPD terkait, dan dirinci menurut objek, rincian objek, dan sub rincian objek pada program kegiatan dan sub kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi perangkat daerah terkait.
“Sebagai bahan edukasinya adalah bahwa subtansi atas hibah kepada BUMD itu diperbolehkan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 12 tahun 2019 yang mengatur tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai turunan dari Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” lanjutnya.
Lanjut Hairul, sekarang tinggal bagaimana pertanggungjawabannya jika terjadi tindak pidana hukum. Siapa yang punya mainstream dan siapa-siapa pihak yang terlibat di dalamnya. Kalau mengacu pada UU 17/2003, maka Presiden tidak bisa disalahkan jika terjadi kejadian penyelewengan hibah.
“Namun memang siapa pun yang terlibat di dalamnya, tidak ada yang boleh merasa kebal hukum, termasuk Presiden, tanpa kecuali jika itu bisa dibuktikan aliran dana kemana saja, baik itu sukarela ataupun paksaan. Untuk diketahui, dana hibah yang disalahgunakan itu tidak langsung ke BUMD (dalam hal ini BKJ), tetapi anggarannya ada di DLH. DLH yang menyerahkan anggaran tersebut. Jadi penganggaran hibah uang kepada BKJ, itu direncanakan dan dianggarkan oleh DLH. (KB/*red)