NUNUKAN, Kaltaraaktual.com- Sebuah insiden kecelakaan sepeda di Krayan Barat, Kabupaten Nunukan, kembali menyingkap rapuhnya layanan kesehatan di wilayah perbatasan Kalimantan Utara. Seorang anak yang mengalami cedera serius terpaksa menempuh perjalanan panjang dan tertunda, hanya untuk mendapatkan layanan medis dasar yang seharusnya tersedia di daerahnya sendiri.
Dayang Bernapas, ibu dari korban, menuturkan bahwa kecelakaan itu terjadi pada Selasa (11/11/25). Sang anak jatuh dari sepeda saat jam istirahat sekolah, dan stang sepeda menghantam perutnya hingga menyebabkan muntah-muntah. Ia segera mencari bantuan ke mantri desa hingga pos kesehatan tentara, namun nihil tak ada satu pun tenaga kesehatan yang berjaga.
“Jaraknya mungkin hanya 20 menit, tapi kondisi jalannya setengah baik, setengah jelek karena lumpur. Sedikit mobil kena lubang, anak saya nangis, ‘Aduh sakit,’” ujar Dayang, Rabu (19/11/2025) mengutip detik. Perjalanan menuju Rumah Sakit Pratama di Krayan, satu-satunya fasilitas medis terdekat, harus ditempuh di jalan berlumpur dan penuh lubang.
Namun setibanya di rumah sakit, problema baru muncul: tidak ada alat rontgen dan fasilitas medis sangat terbatas. Anak Dayang akhirnya dirujuk ke Tarakan. Pilihan satu-satunya menuju kota itu hanyalah pesawat. Mereka dijadwalkan terbang pukul 12.00 Wita, tetapi pesawat baru tiba tiga jam kemudian waktu krusial yang seharusnya dihabiskan untuk menyelamatkan nyawa.
Kasus ini kembali mempertegas realitas yang telah lama dikeluhkan warga Krayan: layanan kesehatan yang timpang, akses jalan yang buruk, dan ketergantungan absolut pada transportasi udara yang tak selalu bisa diandalkan. Dayang berharap pemerintah tidak lagi menutup mata.
“Kami minta tolong perhatikan kondisi kami di Krayan. Alat medis yang lengkap dan pesawat, itu yang paling kami butuhkan,” ujarnya.
Setibanya di Tarakan, kondisi sang anak ternyata jauh lebih buruk dari yang diperkirakan. Dokter Spesialis Bedah RSUKT, dr. Ihya Rahawarin, Sp.B FICS AIFO-K, mengungkapkan bahwa korban mengalami peritonitis akibat ruptur organ, bukan sekadar keluhan perut biasa sebagaimana diduga di Krayan.
“Ada organ yang robek di dalam yang menyebabkan pendarahan hebat,” kata Ihya. Ia menegaskan bahwa keterlambatan penanganan sangat fatal. Hemoglobin pasien turun drastis dari 11 menjadi 6, indikasi bahwa darah telah lama tumpah dalam rongga perut.
“Keterlambatan tiga sampai empat jam menunggu pesawat itu membuat darah semakin banyak terkumpul. Ini memicu shock hypovolemic yang mengancam nyawa. Jujur, saya sudah sampaikan ke keluarga, ada kemungkinan pasien meninggal di meja operasi,” ujarnya tegas.
Tim medis pun melakukan operasi cito segera setelah pasien mendarat di Tarakan. Malam itu juga tindakan pembedahan dilakukan demi menghentikan pendarahan. “Puji Tuhan, kondisinya mulai stabil dan bisa pulih pelan-pelan,” tambahnya.
Di perbatasan yang jaraknya hanya selemparan batu dari negara tetangga, layanan kesehatan masih tertinggal jauh. Dan dalam kasus anak di Krayan ini, nasib seseorang bisa bergantung pada satu hal krusial, apakah pesawat hari itu datang tepat waktu atau tidak. (des/okt/dtk/*red)











