MALINAU, Kaltaraaktual.com- Festival Budaya Irau ke-11 dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Malinau ke-26 bukan sekadar ajang pesta rakyat dan parade budaya. Di tengah riuh warna-warni tari dan musik dari 11 etnis, ada denyut lain yang tak kalah menarik: denting kecil dari kaca panas yang perlahan berubah menjadi manik-manik indah di tangan Donles, seorang perajin asal Malinau.
Di salah satu stan UMKM Festival Irau ke-11, pengunjung tak hanya bisa membeli suvenir, tapi juga belajar langsung membuat kerajinan tangan manik-manik khas suku Dayak. Dengan sabar, Donles memperlihatkan tiap tahap pembuatan manik-manik berbahan kaca yang disebutnya “susah-susah gampang”.
“Yang paling penting itu ketelitian sambil memanaskan besi panjang menyerupai stik di atas kompor rakitan khusus. Sebelum besi dipanaskan, kita lumuri dulu dengan adonan tepung supaya nanti lelehan kacanya tidak lengket,” ujarnya, Selasa, (14/10/25).
Prosesnya tampak sederhana, namun penuh perhitungan. Kaca dipanaskan hingga melunak, kemudian digulung perlahan ke besi yang telah panas. “Sambil terus memutar stik itu, Donles memastikan lelehan kaca merata membentuk bulatan sempurna. Kalau sudah rata, baru kita rapikan sampai presisi,” katanya.
Dalam sekali proses, hasilnya bisa beragam tergantung tingkat kesulitan dan ukuran. “Kalau ukuran besar, satu stik hanya bisa jadi delapan biji manik,” ujar Donles. Apalagi kalau pakai dua warna, karena harus melelehkan kaca berbeda warna, waktunya lebih lama,” imbuhnya.
Untuk bahan baku, Donles mengaku tidak kesulitan. Kaca bisa dibeli di pasar lokal, atau didaur ulang dari botol bekas hingga bola lampu. “Yang penting dari kaca. Kadang saya pakai botol warna hijau atau cokelat biar hasilnya unik,” tuturnya sambil tersenyum.
Ia mulai menekuni kerajinan manik-manik Dayak sejak setahun lalu, setelah dua kali mengikuti pelatihan dari Pemerintah Kabupaten Malinau. Baginya, setiap manik bukan hanya karya, tapi warisan.
“Manik-manik ini sudah jadi ciri khas suku Dayak. Saya berharap generasi muda mau belajar juga, supaya kerajinan ini tidak pudar,” katanya menutup percakapan.
Festival Irau ke-11 pun menjadi lebih dari sekadar panggung budaya – ia menjelma ruang pelestarian, di mana api, kaca, dan tangan-tangan telaten seperti milik Donles terus menjaga nyala tradisi di perbatasan Kalimantan Utara. (ilm/red)