Kongres Prematur dan Bibit Perpecahan di PWI
OPINI, Kaltaraaktual.com- Perpecahan di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bermula dari dana hibah Kementerian BUMN sekitar Rp6 miliar. Dana itu dialokasikan untuk kegiatan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di seluruh Indonesia. Namun, hanya beberapa bulan setelah Hendry Chairudin Bangun dikukuhkan sebagai ketua umum hasil Kongres PWI XXV Bandung 2023, terjadi penarikan dana Rp1 miliar lebih dari rekening PWI.
Dewan Kehormatan PWI Pusat mencium kejanggalan. Selain untuk UKW, dana itu juga disebut mengalir ke pihak lain yang dianggap berjasa mengurus hibah alias cashback. Dari sinilah perpecahan bermula. Konflik makin memuncak ketika Zulmansyah Sekedang mendapat dukungan sejumlah wartawan senior dan anggota DK PWI Pusat untuk mengambil alih kepemimpinan lewat Konferensi Luar Biasa (KLB) 2024 di Jakarta, yang kemudian menetapkannya sebagai ketua.
Melihat dualisme itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) meminta digelar kongres penyatuan. Kubu Hendry dan Zulmansyah akhirnya sepakat mempercepat kongres, 29–30 Agustus 2025, dengan tagline Kongres Persatuan.
Kongres Prematur
Sebagai pribadi, saya menyebutnya kongres prematur. Sebab, baru dua tahun usai kongres di Bandung, kini kongres kembali digelar. Perpecahan di pusat jelas berdampak signifikan ke daerah, termasuk di Kalimantan Utara.
Secara struktural, PWI Kaltara memang tidak terlalu terguncang seperti beberapa provinsi lain yang ketuanya bahkan berstatus pelaksana tugas harian (Plh). Namun, dinamika di internal Kaltara tetap terasa. Misalnya, pergantian ketua bidang organisasi beberapa waktu lalu yang diputuskan sepihak oleh ketua tanpa rapat pleno. Meski akhirnya dianggap langkah darurat, tetap saja itu menjadi catatan kelam karena bertentangan dengan semangat kolektif kolegial sebagaimana diamanatkan AD/ART.
Pleno yang Memunculkan Mosi Tidak Percat
Puncak ketegangan terjadi dalam rapat pleno 21 Agustus 2025. Pleno yang digelar hybrid itu dihadiri pengurus provinsi, ketua kabupaten/kota, serta pengurus harian. Agenda utama: menentukan arah politik PWI Kaltara jelang kongres Cikarang.
Dari pleno, mayoritas peserta menyatakan dukungan kepada Akhmad Munir, wartawan Antara yang kini juga mendapat dukungan koalisi Atal S. Depari dan Zulmansyah Sekedang. Namun, Ketua PWI Kaltara, Nicky Saputra Novianto, tetap bersikeras memilih Hendry. “Maaf, saya tetap memilih Pak Hendry,” ujarnya.
Pernyataan itu memicu reaksi keras. Sekretaris PWI Kaltara, Aswar, langsung walk out, disusul ketua PWI Tarakan, Nunukan, dan Bulungan. Dari sinilah bibit mosi tidak percaya muncul.
Bibit Pemakzulan
Beberapa pengurus kabupaten/kota kemudian melayangkan surat mosi. Mereka menilai banyak tugas ketua belum tertunaikan hingga menjelang akhir masa jabatannya: tidak pernah menggelar rapat rutin, tidak ada konferensi kerja provinsi sebagaimana amanat kongres, dan minim komunikasi organisasi.
Kekecewaan itulah yang kini bertransformasi menjadi wacana pemakzulan. Sebagian elemen pengurus tengah mengolah wacana ini untuk disampaikan ke PWI Pusat agar diputuskan secara resmi.
Menjaga Marwah PWI
Sebagai Ketua DK PWI Kaltara, saya menilai kondisi ini harus jadi pelajaran. PWI adalah rumah besar wartawan. Jika konflik terus dipelihara, marwah organisasi bisa hancur. Spirit kebersamaan seharusnya dikedepankan, bukan kepentingan pribadi.
Kongres Persatuan di Cikarang akhir Agustus ini semestinya tidak hanya jadi ajang rebutan kursi, tapi juga momentum memperbaiki moral organisasi. Sebab, tanpa marwah dan moral, PWI tak lebih dari sekadar papan nama.
Oleh: H. Rachmat Rolau (Ketua Dewan Kehormatan PWI Kalimantan Utara)



 








