TANJUNG SELOR, Kaltaraaktual.com- Keterbukaan informasi lingkungan di Kalimantan Utara dipertanyakan. Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL) menyampaikan kritik keras terhadap Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Keduanya dituding melakukan maladministrasi dan penundaan berlarut terkait eksekusi putusan Komisi Informasi (KI) Kaltara yang telah berkekuatan hukum tetap.
Akar persoalan ini bermula dari permohonan informasi yang diajukan sejak 18 Juli 2024, mulai dari dokumen AMDAL PLTA Kayan, berbagai perusahaan tambang, hingga dokumen Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi. Putusan KI Kaltara pada 14 Desember 2024 mengabulkan seluruh permohonan dan memerintahkan PPID Utama menyerahkan dokumen maksimal 14 hari kerja setelah inkrah.
Namun bukannya menjalankan putusan, PPID Utama justru mengajukan banding ke PTUN Samarinda. Gugatan itu kemudian gugur pada Maret 2025 karena lewat waktu. Meski pemohon sudah kembali melayangkan surat tindak lanjut pada Juli 2025, hingga 25 November 2025 tidak satu pun dokumen berpindah ke tangan publik. “Ini bukan lagi soal keterlambatan. Ini pembangkangan terhadap mekanisme hukum,” kata perwakilan PLHL, Valdo, dalam konferensi persnya, Kamis, (27/11/25).
Kondisi serupa muncul dalam sengketa informasi mengenai dokumen AMDAL Kehutanan dari delapan perusahaan. Melalui putusan Nomor 007/VIII/KI KALTARA-PS/2024 pada 9 Desember 2024, KI Kaltara memerintahkan DLH menyerahkan dokumen AMDAL milik KSU Meranti Tumbuh Indah serta memberikan penjelasan tertulis mengenai enam perusahaan lain yang dokumennya tidak dikuasai.
Alih-alih menyampaikan klarifikasi yang konsisten, DLH disebut mengganti alasan dari waktu ke waktu, mulai dari kewenangan pusat, informasi dikecualikan, hingga klaim dokumen tidak berada dalam penguasaan. Bagi PLHL, pola jawaban seperti ini mengindikasikan bahwa DLH tidak memiliki basis pengelolaan data lingkungan yang memadai.
Fakta yang lebih mengkhawatirkan muncul saat DLH mengaku hanya memiliki satu dokumen AMDAL kehutanan dari total 35 izin di Kaltara. “Bagaimana mungkin fungsi pengawasan berjalan jika dokumen dasarnya saja tidak dimiliki?” ujar Valdo, menyitir amanat Pergub 24/2022 tentang pengawasan lingkungan.
Minimnya transparansi informasi lingkungan disebut dapat memperburuk risiko ekologis yang selama ini mengintai kawasan Kaltara. Catatan PLHL menyebutkan banjir besar pada 2015 dan 2024, serta temuan limbah kayu di sejumlah sungai, sebagai indikasi rapuhnya tata kelola. Padahal, berdasarkan Lampiran Peraturan Gubernur Kalimantan Utara Nomor 24 Tahun 2022, pada Nomor 540.29.06 ditegaskan bahwa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diklasifikasikan sebagai informasi biasa dan terbuka.
“Dokumen tersebut dapat diakses oleh pengguna internal maupun eksternal, sepanjang diketahui publik tidak merugikan pihak mana pun serta telah melalui unit pengolah terkait. Ketentuan ini memperkuat bahwa secara normatif tidak terdapat dasar hukum untuk menutup akses dokumen AMDAL kepada publik,” imbuhnya.
Menurut Valdo, mandeknya dokumen-dokumen tersebut tidak hanya melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Administrasi Pemerintahan termasuk peraturan Gubernur, tetapi juga melemahkan hak publik untuk ikut mengawasi eksploitasi sumber daya alam.
“Jika negara gagal membuka dokumen dasar lingkungan, siapa yang menjamin keselamatan warga?” tukas Valdo menutup pernyataan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak DLH Provinsi Kalimantan Utara belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan pengabaian putusan Komisi Informasi Kaltara tersebut. (**)










