Warisan Adat Lamaran Suku Tidung di Malinau, Simbol Kesepakatan dan Jati Diri Budaya

MALINAU, Kaltaraaktual.com– Festival Budaya IRAU Ke-11 dan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Malinau ke-26 dalam rangkaian acara menampilkan banyak entitas budaya lokal dari berbagai suku dan paguyuban termasuk penampilan dan keberagaman Suku Tidung, yaitu tradisi Beseruan, prosesi lamaran adat Suku Tidung, yang digelar dengan penuh makna dan kehangatan di Kabupaten Malinau. Prosesi ini menjadi salah satu warisan budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tidung atau Lembaga Adat Besar Tidung Kabupaten Malinau sebagai simbol kesopanan, kehormatan, dan penyatuan dua keluarga, penampilan ini digelar di Lapangan Padan Liu’ Burung, Kabupaten Malinau, pada Kamis, (09/10/25).

Baca Juga  Capaian Pemkab Nunukan Sektor Pertanian, Pelayanan Air Bersih, Lingkungan, Kelistrikan dan Penuntasan Kemiskinan

Dalam upacara Beseruan, rombongan keluarga calon mempelai pria datang ke rumah calon mempelai wanita untuk menyampaikan niat meminang secara resmi. Sebagai tanda kesungguhan, pihak pria membawa cinderamata berupa cincin, simbol awal kesepakatan yang menjadi jembatan antara dua keluarga besar.

Yang menjadi ciri khas Beseruan di Malinau adalah tradisi berbalas pantun antara perwakilan keluarga pria dan wanita. Pantun-pantun itu mengalir indah, mencerminkan kecerdasan, kesantunan, dan kehangatan dalam dialog budaya yang turun-temurun.

Baca Juga  Mengungkap Ilusi di Balik Angka PAD Nunukan dan Panggilan untuk Revolusi Ekonomi Maritim

Setelah kesepakatan lamaran diterima, prosesi dilanjutkan dengan penghitungan uang lamaran serta penyerahan seserahan berupa mas kawin, seperangkat alat salat, kasur, handuk, alat rias, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Namun, sesuai adat Tidung, pihak keluarga wanita tidak akan menyajikan hidangan sebelum tercapai kesepakatan lamaran. Hidangan baru disuguhkan setelah lamaran diterima, sebagai tanda restu dan penyambutan yang tulus.

Setelah Beseruan, rangkaian adat berlanjut ke tahap Ngatod De Pulut, yakni pengantaran mas kawin yang telah disepakati, dan puncaknya adalah Kawin Suruk, upacara pernikahan adat yang sarat nilai filosofi tentang keseimbangan dan kebijaksanaan hidup.

Baca Juga  Bupati Ibrahim Ali Bahas Penataan Lahan Tana Tidung dengan BPKH IV Samarinda

Sebelum itu, masyarakat Tidung mengenal tahap Ginisinis—proses perjodohan di mana calon mempelai pria belum tentu melihat calon istrinya hingga waktu yang ditentukan. Sementara Bepupur, menjadi ritual penyucian diri bagi calon pengantin, melambangkan kesiapan spiritual memasuki kehidupan baru. (**)

Tinggalkan Balasan